KalselBabusalam.com – Keputusan pemerintah untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, telah memicu gelombang penolakan keras dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa se-Universitas Indonesia (Aliansi BEM se-UI). Penolakan ini, ditegaskan oleh Wakil Ketua BEM UI, Brevka Noufalio, yang mewakili seluruh Aliansi BEM se-UI, adalah manifestasi dari komitmen teguh mereka terhadap nilai-nilai fundamental kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.

Brevka Noufalio dengan tegas menyatakan, “Kami menolak dan menuntut pencabutan seluruh bentuk gelar kehormatan maupun pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto karena bertentangan dengan prinsip keadilan, kemanusiaan, dan nilai-nilai reformasi.” Pernyataan ini disampaikan dalam rilis tertulis pada Selasa, 11 November 2025, menyoroti penolakan yang tidak hanya berlandaskan pada etika, tetapi juga pada esensi perjuangan reformasi yang telah mengukir sejarah bangsa.

Aliansi BEM se-UI tidak hanya berhenti pada penolakan gelar, tetapi juga secara keras menentang segala upaya manipulasi sejarah dan glorifikasi terhadap individu yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Brevka mendesak pemerintah dan seluruh lembaga negara untuk mengemban tanggung jawab moral dan sejarah mereka. Hal ini penting guna memastikan bahwa rezim otoriter tidak akan pernah lagi dimuliakan dan kekejaman masa lalu tidak akan terulang di masa depan.

Lebih lanjut, Brevka menyerukan, “Kami mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama orang muda, untuk menjaga warisan reformasi, mengawal kebenaran sejarah, dan melawan segala bentuk distorsi narasi yang mengkhianati perjuangan rakyat.” Seruan ini adalah ajakan kolektif untuk merawat ingatan bersama dan memastikan bahwa sejarah tidak dibelokkan demi kepentingan sesaat.

Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto terjadi di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2025. Fakta bahwa Prabowo Subianto memiliki ikatan personal sebagai menantu dari Soeharto menambah dimensi kompleksitas pada keputusan kontroversial ini.

Secara resmi, penetapan gelar pahlawan nasional tersebut diumumkan oleh Sekretaris Militer Presiden, Wahyu Yudhayana, di Istana Negara pada Senin, 10 November 2025. Pada tahun tersebut, total sepuluh nama dianugerahi gelar pahlawan nasional. Mereka adalah Soeharto; Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid; aktivis buruh yang gugur di era Orde Baru, Marsinah; mantan Menteri Hukum Mochtar Kusumaatmadja; pendiri sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia, Rahmah El Yunusiyyah; mantan Komandan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo; Raja Bima XIV, Nusa Tenggara Barat, Sultan Muhammad Salahuddin; ulama asal Bangkalan, Jawa Timur, Syaikhona Muhammad Kholil; Raja Kerajaan Raya Simalungun ke-14, Sumatera Utara, Tuan Rondahaim Saragih Garingging; dan Raja Tidore, Sultan Zainal Abidin Syah.

Dalam pembacaan Keputusan Presiden tentang Penetapan Pahlawan Nasional 2025, Soeharto dinilai berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Penguasa Orde Baru tersebut diakui atas perannya sebagai wakil komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Yogyakarta dan kepemimpinannya dalam pelucutan senjata tentara Jepang di Kotabaru, Yogyakarta, pada tahun 1945.

Namun, pandangan ini ditolak keras oleh Brevka Noufalio. Baginya, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sejarah panjang dan penderitaan yang dialami rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru. “Soeharto bukanlah figur yang mencerminkan nilai-nilai kepahlawanan sejati,” tegas Brevka.

Brevka memperkuat argumennya dengan merujuk pada regulasi yang ada. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, gelar pahlawan harus diberikan berdasarkan beberapa asas, termasuk asas kemanusiaan dan keadilan. Lebih jauh lagi, Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 mengatur syarat mutlak bahwa seseorang yang akan dianugerahi gelar pahlawan harus memiliki integritas moral dan keteladanan yang tinggi.

“Dengan adanya asas dan syarat tersebut, jelas bahwa Soeharto tidak layak mendapat gelar pahlawan,” simpul Brevka, menyoroti jurang antara tindakan Soeharto di masa lalu dengan kriteria seorang pahlawan nasional.

Selama memimpin, Brevka mengingatkan, Soeharto mengukir jejak rezim yang represif, menindas, mengekang, dan mengorbankan rakyat demi mempertahankan kekuasaan. Selain itu, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi ciri khas yang melanggeng di bawah pemerintahannya, merugikan fondasi moral dan ekonomi bangsa.

Tidak hanya itu, Brevka juga menyinggung serangkaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di era Orde Baru. Mulai dari tragedi kekerasan politik pasca-peristiwa 1965, fenomena “penembakan misterius” (Petrus) yang merenggut banyak nyawa tak bersalah pada 1982-1985, hingga penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi menjelang kejatuhan rezim pada 1998. Rentetan peristiwa kelam ini menjadi bukti tak terbantahkan atas pelanggaran serius terhadap kemanusiaan.

Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan Editor: Peluang Membatalkan Gelar Pahlawan Soeharto

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.