
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menegaskan ketidakwenangannya untuk mengadili gugatan perdata senilai Rp200 miliar yang diajukan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk. Keputusan penting ini disambut hangat oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers sebagai bentuk kemenangan rakyat dalam melawan upaya pembungkaman terhadap kebebasan pers. Informasi ini dilansir dari KalselBabusalam.com.
Direktur LBH Pers, Mustafa Layong, menyatakan bahwa putusan Pengadilan Jakarta Selatan ini bagaikan “air pelepas dahaga di tengah paceklik demokrasi.” Ia menegaskan bahwa kemenangan ini adalah milik insan pers, warga negara, serta seluruh pihak yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir, berpendapat, dan mengakses informasi, sebagaimana disampaikan dalam keterangan tertulis pada Senin, 17 November 2025.
LBH Pers juga mengategorikan gugatan pemerintah terhadap pers sebagai Unjustified Lawsuit Against Press (ULAP). Istilah ini merujuk pada tindakan hukum yang dapat dikualifikasikan sebagai gugatan strategis yang bertujuan untuk mengganggu kemerdekaan pers dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pilar kontrol sosial. Mustafa Layong menambahkan, “Putusan ini menjadi pengingat agar kita sebagai rakyat tidak menyerah berjuang kala pemerintah kadang bisa melakukan apa saja, bahkan untuk hal yang kita anggap tidak masuk akal.”
Putusan sela yang diumumkan secara daring melalui sistem e-court hari ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh pihak Tempo dalam perkara perdata melawan Amran Sulaiman. Amar putusan tersebut secara tegas menyatakan, “Majelis mengabulkan eksepsi Tergugat,” dan lebih lanjut, “Majelis menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara ini.”
Selain itu, Majelis Hakim juga mewajibkan Kementerian Pertanian selaku penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp240 ribu. Humas PN Jakarta Selatan, Asropi, mengonfirmasi putusan sela tersebut, menjelaskan bahwa setelah putusan ditandatangani oleh panitera, para pihak dapat mengunduhnya melalui sistem e-court.
Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum Tempo berargumen bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara ini. Mereka mendasarkan argumen pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengkategorikan sengketa ini sebagai sengketa pers. Dengan demikian, menurut tim hukum Tempo, Dewan Pers-lah yang seharusnya berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut.
Tim kuasa hukum Tempo juga menyoroti bahwa penggugat belum menggunakan hak jawab, hak koreksi, atau melaporkan persoalan ini ke Dewan Pers, yang merupakan mekanisme wajib sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pers. Dalam eksepsi lainnya, kuasa hukum Tempo menilai bahwa gugatan Amran merupakan bentuk Unjustified Lawsuit Against Press (ULAP) yang didasari oleh itikad buruk.
Lebih lanjut, tim hukum Tempo berpendapat bahwa penggugat tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan. Argumen ini didasarkan pada dua alasan utama: pertama, pihak yang mengajukan pengaduan ke Dewan Pers adalah Wahyu Indarto, bukan secara langsung Menteri Pertanian; kedua, objek sengketa, yaitu pemberitaan, tidak secara spesifik memberitakan penggugat, melainkan aktivitas Bulog dalam penyerapan beras dan/atau gabah.
Tim kuasa hukum Tempo juga berargumen bahwa gugatan ini merupakan bentuk penyalahgunaan hak dan dilakukan dengan itikad buruk. Mereka melihat adanya indikasi intimidasi melalui tuntutan ganti rugi yang sangat besar, yakni senilai Rp200 miliar.
Tim hukum Tempo turut menyatakan bahwa gugatan Amran salah pihak, sebab berita yang dipermasalahkan dipublikasikan oleh tempo.co yang berada di bawah PT Info Media Digital, bukan PT Tempo Inti Media Tbk. Mereka juga menilai bahwa Amran, sebagai menteri, tidak memiliki dasar hukum eksplisit untuk menggugat atas nama pegawai kementerian, Bulog, maupun petani Indonesia.
Gugatan perdata senilai Rp200 miliar ini diajukan Amran karena menuduh Tempo melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak menjalankan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers terkait sengketa sampul berita berjudul “Poles-poles Beras Busuk.”
Artikel yang menjadi pangkal sengketa tersebut dilengkapi sampul bergambar karung beras dengan judul “Poles-poles Beras Busuk,” yang ditayangkan di media sosial Instagram dan X (sebelumnya Twitter). Isi artikelnya sendiri mengisahkan upaya Bulog untuk membeli seluruh gabah petani dengan satu harga, yaitu Rp6.500 per kilogram.
Amelia Rahima Sari dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Duduk Perkara Amran Gugat Tempo











