Dilansir dari KalselBabusalam.com, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara Indonesia sedang gencar melakukan transformasi fundamental guna menyelamatkan dan menyehatkan kembali maskapai nasional PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Langkah ini menjadi krusial mengingat kondisi keuangan maskapai pelat merah tersebut yang sedang terhuyung-huyung dengan total utang mencapai US$ 8,28 miliar atau setara Rp 138,49 triliun, serta membukukan kerugian sebesar US$ 182,53 juta atau sekitar Rp 3,05 triliun hingga kuartal ketiga 2025.

Dalam sebuah terobosan penting, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) telah memberikan persetujuan untuk rencana penyertaan modal senilai Rp 23,67 triliun. Suntikan dana vital ini akan dilakukan oleh PT Danantara Asset Management (DAM), sebuah entitas di bawah Danantara. Lebih lanjut, Danantara menegaskan komitmennya bahwa proses restrukturisasi Garuda Indonesia ini tidak akan menimbulkan beban fiskal baru bagi keuangan negara.

Febriany Eddy, Managing Director Non-Financial Holding Operasional Danantara, mengungkapkan urgensi dari langkah ini. “Ya memang kalau tidak dilakukan restrukturisasi tahun ini, maka tahun depan dia (Garuda) mungkin akan lebih sulit. Jadi ada urgensi untuk segera dibantu tahun ini,” ujar Febriany di Kantor Danantara, Jakarta, Jumat (14/11), menekankan pentingnya intervensi cepat.

Sebelumnya, Garuda Indonesia juga telah mengupayakan serangkaian aksi korporasi untuk mengatasi masalah keuangan. Berbagai langkah telah ditempuh, mulai dari pendanaan langsung untuk mendukung operasional harian, pengembangan skema pembayaran utang bahan bakar yang menumpuk, hingga penyertaan aset strategis berupa lahan dari anak usahanya, PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI).

Banyak Pesawat Garuda dan Citilink Mangkrak

Febriany menjelaskan bahwa salah satu faktor utama yang menekan kinerja keuangan Garuda dalam enam bulan terakhir adalah banyaknya pesawat yang grounded atau tidak dapat beroperasi. Kondisi ini disebabkan oleh belum dilakukannya proses maintenance yang seharusnya, mengakibatkan kerugian signifikan bagi perseroan.

Lebih jauh, Febriany menyoroti dampak serius dari pesawat yang grounded. Saat pesawat tidak dapat terbang, maskapai kehilangan potensi pendapatan, sementara beban operasional seperti biaya sewa pesawat dan beban lainnya terus berjalan. Hal ini menciptakan “lubang” finansial yang semakin besar setiap harinya.

“Jadi setiap hari kita men-delay, maka semakin besar lubang yang harus ditutup. Jadi ini menjadi tahap satu prioritas, banget-banget prioritas. Segera diberikan untuk bisa melakukan maintenance yang dibutuhkan sehingga pesawat Garuda bisa terbang lagi,” tegasnya, menggarisbawahi urgensi pemeliharaan pesawat.

Febriany juga mencatat bahwa kondisi serupa, bahkan lebih parah, dialami oleh anak perusahaan Garuda Indonesia, Citilink, dengan lebih banyak pesawat yang berada dalam kondisi grounded. Oleh karena itu, prioritas utama saat ini adalah segera menyelesaikan maintenance seluruh armada maskapai demi keberlanjutan operasional.

Sebagai langkah awal, Danantara telah menyalurkan dana dalam bentuk pinjaman pemegang saham atau shareholder loan senilai US$ 405 juta atau setara Rp 6,65 triliun. Dana ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk segera mengatasi masalah-masalah mendesak.

Febriany menjelaskan bahwa kucuran dana di awal tahun ini dialokasikan untuk kebutuhan yang sangat mendesak dan tidak dapat ditunda, khususnya untuk maintenance. Namun, ia menekankan bahwa penggunaan dana tersebut tetap berada di bawah pengawasan ketat Danantara, dengan komitmen kuat dari Garuda untuk memanfaatkannya khusus untuk kebutuhan perawatan armada.

Dia pun menyatakan harapan besar agar seluruh armada Garuda Indonesia dapat segera memenuhi persyaratan perawatan yang diperlukan dan kembali beroperasi secepatnya. “Itu kalau ditunda, malah tahun depan takutnya sudah enggak bisa. Karena bolongnya sudah besar banget, jadi sebagian besar uangnya sebenarnya untuk itu,” kata Febriany, memperingatkan risiko penundaan.

Melalui seluruh langkah strategis ini, Febriany berharap neraca keuangan Garuda Indonesia secara konsolidasian dapat kembali mencatatkan hasil positif. Ia mengakui bahwa akan sangat sulit bagi maskapai untuk beroperasi secara normal dan berkelanjutan jika terus menerus mencatatkan kinerja keuangan negatif.

“Langkah setelah Danantara masuk itu bukan hanya sekadar kasi uang. Ini kami akan monitor dan kami akan bekerja bersama dengan tim manajemen Garuda,” kata Febriany, menegaskan peran aktif Danantara dalam proses pemulihan.

Senada dengan itu, Direktur Utama GIAA, Glenny Kairupan, sebelumnya menyampaikan bahwa persetujuan pemegang saham dalam RUPSLB ini merupakan tonggak penting dalam perjalanan pemulihan dan transformasi perseroan.

“Dukungan dari DAM sebagai bagian dari inisiatif pemerintah mencerminkan kepercayaan terhadap arah strategis dan visi jangka panjang kami dalam mewujudkan maskapai nasional yang sehat, tangguh, dan berkelas dunia,” tutur Glenny, menggambarkan optimisme terhadap masa depan Garuda Indonesia.

Glenny memerinci alokasi suntikan modal tersebut: sekitar Rp 8,7 triliun atau 37% dari total dana akan dialokasikan untuk kebutuhan modal kerja GIAA, termasuk di dalamnya adalah biaya pemeliharaan dan perawatan pesawat. Sementara itu, Rp 14,9 triliun atau 63% sisanya akan dialirkan untuk mendukung operasional Citilink. Dana untuk Citilink ini terdiri atas Rp 11,2 triliun untuk modal kerja dan Rp 3,7 triliun untuk pelunasan kewajiban pembelian bahan bakar kepada Pertamina periode 2019-2021.

Penyertaan modal ini akan direalisasikan melalui penerbitan 315,61 miliar lembar saham Seri D dengan harga pelaksanaan Rp 75 per lembar saham, sebagaimana telah disepakati dalam RUPSLB. Glenny menambahkan, langkah ini juga strategis untuk memastikan keberlanjutan pencatatan saham GIAA di Bursa Efek Indonesia (BEI), sekaligus memperkuat posisi keuangan perusahaan untuk mendukung akselerasi transformasi jangka panjang maskapai kebanggaan Indonesia ini.

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.