Guru Ngaji Tega Cabuli 10 Murid Perempuan di Bawah Umur
Seorang guru ngaji berinisial AF (54 tahun) di Tebet, Jakarta Selatan, terbukti melakukan tindakan tidak senonoh terhadap 10 murid perempuannya. Aksi ini dilakukan selama empat tahun sejak 2021 dan melibatkan anak-anak di bawah umur dengan usia antara 9 hingga 12 tahun.
Korban Tak Berani Melawan
Menurut informasi yang diperoleh, para korban awalnya menolak tindakan AF. Namun, mereka tidak mampu melawan karena pelaku sering mengancam dan memukul. Hal ini membuat para korban merasa takut dan tidak berdaya.
AKP Citra Ayu Civilia, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Selatan, menjelaskan bahwa korban sempat melawan saat AF akan melakukan aksinya. Meski begitu, ancaman dan kekerasan yang diberikan membuat mereka akhirnya menuruti perintah pelaku.
“Berdasarkan keterangan dari korban, mereka ini sebenarnya dari awal sudah menolak. Tapi memang pada saat itu sempat yang bersangkutan itu mengancam, kemudian tangannya begini (diangkat) terus menampar pelan,” jelas Citra.
Trauma dan Ketakutan
Para korban juga merasa trauma setelah mengalami kekerasan fisik dan ancaman. Mereka takut untuk melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua atau pihak lainnya.
Citra menjelaskan bahwa ketakutan ini membuat korban tidak berani berbicara kepada orang lain. “Kami tanya kenapa enggak lari, kenapa enggak lapor, ternyata karena trauma dipukul yang membuat anak-anak akhirnya menjadi ketakutan. Jadi tidak berani berbicara kepada orang lain ataupun kepada orang tuanya,” tambahnya.
Penawaran Uang sebagai Imbalan
Selain ancaman, AF juga memberikan iming-iming uang kepada para korban. Ia menawarkan uang sebesar Rp 10.000 hingga Rp 25.000 sebagai bentuk penghiburan. Hal ini dilakukan untuk membujuk para korban agar tidak melaporkan tindakannya.
Kasus Terungkap Karena Mogok Mengaji
Kasus ini terungkap setelah salah satu korban mogok mengaji. Saat itu, korban mengaku kepada orangtuanya bahwa ia telah dilecehkan oleh AF. Orang tua korban memaksa anaknya untuk terus mengaji, namun korban tetap menolak karena trauma.
Komisaris Murodih, Kasi Humas Polres Jakarta Selatan, menjelaskan bahwa trauma yang dialami korban membuatnya akhirnya menceritakan kejadian tersebut kepada orang tua. Trauma ini muncul karena AF pernah memukul korban saat pertama kali melakukan pelecehan. Pelaku juga mengancam agar korban tidak melaporkan hal tersebut ke orang tuanya.
Setelah kasus terungkap, lima korban melaporkan kejadian ini ke polisi. Dalam penyelidikan lebih lanjut, polisi menemukan lima korban lainnya.
Modus Pelaku
AF sering melakukan aksinya saat anak dan istrinya sedang tidak berada di rumah. Biasanya, sesi mengaji untuk anak laki-laki dan perempuan dipisah. Murid laki-laki mendapat sesi pertama dan diminta pulang lebih dulu.
“Jadi pada saat melakukan perbuatan tersebut dilakukan tuh rata-rata pada waktu sore hari, jadi memang anak-anak dan istrinya memang kebetulan tidak ada di rumah,” jelas Citra.
Ancaman Hukuman Berat
Atas perbuatannya, AF dijerat dengan beberapa pasal berlapis. Ia terkena Pasal 76 juncto Pasal 82 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya mencapai 20 tahun penjara.
Karena posisinya sebagai tenaga pendidik, AF mendapat ancaman hukuman tambahan. Awalnya, hukuman maksimal adalah 15 tahun penjara, tetapi kini ditambah menjadi 20 tahun penjara sesuai Pasal 82 ayat 2 UU Perlindungan Anak.
“Memang kalau orangtua atau tenaga pendidik itu biasanya kami lapis dengan ayat 2. Jadi yang harusnya mungkin 15 tahun kami maksimalkan menjadi 20 tahun,” jelas Citra.











